Suatu pagi saya masuk hutan untuk melihat ladang gambir di kampung saya. Di nagari Pangkalan Koto Baru, Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat. Karena perjalanan sedikit offroad, kami memilih naik motor yang sudah disesuaikan dengan medan daerah ini.
Gambir (uncaria) berupa tumbuhan perdu setengah merambat atau memanjat dengan percabangan memanjang dan mendatar. Ekstrak gambir memiliki kandungan senyawa polifenol berupa katekin dan tanin. Di Indonesia pada umumnya digundakan untuk menyirih. Kegunaan lainnya adalah sebagai bahan penyamak kulit dan pewarna. Gambir juga mengandung katekin (catekin) bahan baku penting untuk berbagai industri farmasi, pasta gigi, kosmetik, pewarna, bahan industri pangan dan lain-lain.

Gambir adalah salah satu komoditasi ekspor Indonesia dan menjadi pemasok utama gambir dunia. Di Sumatera Barat ada 2 daerah terpenting penghasil gambir yaitu di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Pesisir Selatan. Khususnya di Kabupaten 50 Kota adalah di Pangkalan Koto Baru dan Kapur IX.
Pangkalan adalah daerah yang dikaruniai Allah SWT menjadi salah satu daerah penghasil gambir terbesar. Disini kita bisa melihat tanaman gambir tumbuh liar di hutan-hutannya.
Tapi sayang potensi alam ini belum mampu menyejahterakan petani. Walau sebagai penghasil terbesar gambir dunia, Indonesia belum mempunyai kedaulatan dan kemampuan untuk menentukan harga. Harga masih ditentukan oleh pihak pembeli dari luar seperti Singapura dan India. Penentuan harga secara tertutup oleh mereka, sehingga petani dan Indonesia khususnya tidak bisa berbuat apa-apa.
Dahulu harga gambir pernah mencapai Rp 105.000 per kilogram. Zaman itu para petani sejahtera dan senang hatinya. Namun sejak Maret 2020 anjlok sampai Rp 19.000 per kilogram di tingkat petani.
Memang diakui permainan nakal para petani memainkan kualitas gambir ditenggarai menjadi penyebab turunnya harga. Namun dari pembicaraan saya dengan pemain lokal, sebenarnya ini tidak seluruhnya benar. Sebab ada barang tentu sesuai pula harganya. Tapi ketika kualitasnya bagus pun harga tetap tidak bagus. Kualitas gambir bisa disesuaikan, kata pedangang lokal ini. Kalau mau barang bagus sudah pasti harganya juga bagus. Kalau mau murah ya disesuaikan kualitasnya dengan mencampur gambir dengan tambahan pencampur.
Semakin menyedihkan lagi, di saat petani dan pedagang lokal bernasib rugi sekarang ini, eh malah ada perusahaan pabrik modal asing mendirikan pabrik langsung di pusat penghasil gambir ini. Mendirikan pabrik yang langsung mengolah gambir dan tidak lagi membeli ke petani dan pedagang lokal. Petani hanya bisa menjual daun saja ke pabrik. Sudah tentu dengan harga yang sangat murah! Petani gambir tidak berdaulat menentukan harga. Semakin menjadi-jadilah jatuh nasib petani. Harga semakin anjlok dan tidak bisa lagi sejahtera seperti dahulunya.
Karena harga gambir semakin anjlok maka para petani tidak bersemangat lagi berladang gambir. Sebab kalau pun dibuka ladang, malah akan semakin rugi. Tidak imbang pendapatan dengan pengeluaran untuk membuka ladang dan mengolah gambir. Nasib ladang gambir semakin menyemak dan hilang di dalam hutan. Demikian juga petani bingung dan hilang arah hendak mau ‘ngapain lagi.
Harus ada terobosan yang dilakukan untuk meningkatkan harga dan nasib petani. Penjualan dan harga gambir seharusnya tidak dimonopoli lagi oleh pihak asing. Pemerintah diminta untuk mendorong industri dalam untuk menerima dan mengolah hasil gambir ini. Tidak lagi dijual dalam bentuk mentah ke India dan sebagainya. Dan saatnya juga semua pihak bahu-membahu mengangkat nasib petani dan meningkatkan harga serta bargaining position kita dalam perdagangan dunia.
Video ini adalah perjalanan saya untuk melihat ladang kakek kami dan kemungkinan untuk membukanya kembali.